Thursday, January 4, 2018

Kenyal-Kenyal Enak, Papeda!






Yao guys. Kali ini saya mau berbagi sedikit cerita mengenai salah satu makanan atau kuliner khas nusantara di Indonesia. Namun saya akan mencoba mengajak kita menjelajah ke bagian Timur Indonesia untuk mengenal salah satu kuliner khas masyarakat disana yang bertekstur menyerupai lem kanji, yaitu Papeda. Mungkin kalian pernah mendengar makanan ini, tapi pernahkah kalian membayangkan bagaimana bentuknya? Bagi kalian yang belum tahu, mungkin kalian bisa membayangkan aci atau kanji. Tahu kan kalau tepung kanji dikasih air panas, kira-kira gimana bentuknya? Seperti 'lem' bukan? Kalau 'lem' itu anda makan gimana rasanya? Hehehehe sebagian dari kalian pasti membayangkan rasa yang aneh-aneh deh, tapii aku pribadi yang pernah makan di salah satu restaurant di Jakarta, rasa papeda ini enak loh!


Papeda atau bubur sagu ini berbahan utama yang berasal dari tepung sagu yang tentunya berasal dari pohon sagu juga. Nah, sagu ini sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia bagian timur, khususnya Maluku dan Papua. Tapi ternyata juga dikenal oleh masyarakat rumpun melayu yang lain, seperti Malaysia dan Brunai. Bahkan makanan yang disebut papeda ini, dikenal juga di sana dengan nama 'Linut'. Selain itu, di Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat daerah Luwu (Kota Palopo, Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur), papeda dikenal dengan nama 'Kapurung'.

Proses pembuatan Papeda ini nampaknya sudah merupakan tradisi turun temurun masyarakat disana. Untuk membuat Papeda, bermula dari proses pengambilan sagu dari pohon sagu terlebih dahulu, dilakukan dengan cara pohon sagu yang sudah siap panen (usia 7-10 tahun) ditebang hingga tumbang, kemudian batangnya dibelah menjadi dua bagian. Isi dari batangnya itulah yang akan diambil menjadi sagu, proses pengambilan Sagu di Papua dinamakan menokok. Pengambilannya menggunakan alat-alat tradisional yang dikerjakan lebih dari 2-3 orang. Jika sudah diambil maka sagu yang masih mentah akan didiamkan beberapa hari terlebih dahulu didalam tempat yang disebut tumang. Setelah itu barulah proses pembuatan sagu tadi diolah menjadi Papeda. Rumit kan? Ahaha.

Bentuk Papeda itu sendiri jika sudah jadi akan menyerupai lem kanji dan sangat kenyal, makanan ini biasanya dipakai sebagai pengganti makanan pokok sehari-hari kita seperti nasi. Makanya kalau disajikan, Papeda harus menggunakan lauk berkuah seperti Ikan dan sayur-sayuran lainnya. Papeda ini tidak mempunyai rasa, karena memang hanya terbuat dari sagu tanpa campuran bumbu penyedap lainnya, proses pembuatannya juga cukup simple karena hanya memerlukan air panas yang sudah mendidih untuk dicampur kedalam adonan sagu lalu kemudian diaduk hingga berbentuk Papeda. Namun jangan salah, meskipun kelihatannya mudah dan relative sangat gampang pembuatannya, bagi yang belum berpengalaman dalam membuat Papeda tapi mau mencobanya bisa jadi akan gagal karena beberapa faktor. Misalnya campuran air pada adonan sagunya terlalu banyak sehingga Papeda akan terlalu cair dan tidak dapat kita makan. Begitu juga sebaliknya jika campuran airnya terlalu sedikit atau kurang terhadap adonan sagu, maka akan menyebabkan Papeda kita menjadi sedikit keras sehingga Papeda tidak dapat kita makan. Satu hal lagi yang bisa menyebabkan pembuatan Papeda kita gagal adalah faktor suhu air yang kurang begitu panas. Jika air tidak panas hingga mendidih maka adonan sagu yang dicampurkan dengan air tidak akan membentuk Papeda. Makanya bagi yang belum ahli dalam membuat Papeda tapi ingin mencobannya sebaiknya ditemani oleh mereka yang sudah berpengalaman agar Papedanya dapat jadi dengan sempurna. Di Papua tidak semua orang dapat membuat Papeda meskipun bahan Sagu disana sangat mudah diperoleh. 

Papeda jika sudah jadi akan dihidangkan bersama lauk seperti Ikan yang dimasak dengan kuah kuning. Disebut kuah kuning karena memang warna kuahnya berwarna kuning yang diperoleh dari campuran kunyit. Untuk sayuran, paling pas disajikan bersama sayur kangkung yang ditumis dengan sedikit kolaborasi bunga pepaya didalamnya. Khusus bagi mereka yang suka pedas, dapat disesuiakan sesuai selera dengan tambahan cabe pada bumbu kuah ikan. Atau jika tidak mau dicampur kedalam bumbu kuah ikan, terdapat juga sambal dibuat terpisah untuk dapat lebih mudah menyesuaikan tingkat kepedasannya. Rasa Papeda yang menyatu dengan bumbu kuah ikan dijamin akan membuat kita ketagihan, Sedikit pedas dan asam khas jeruk nipis yang pertama kali kita rasakan saat Papeda menyentuh lidah kita. Ditambah dengan perpaduan ikan dan sayurannya juga akan semakin melengkapi nikmatnya menyantap Papeda. Untuk ikan, sebenarnya ikan apa saja dapat kita gunakan sebagai lauk dalam menyajikan Papeda. Namun biasanya yang paling sering dipakai adalah ikan laut seperti ikan Mubara dan ikan tongkol. Entah karena rasanya yang pas untuk Papeda atau memang kebanyakan selera masyarakat lebih menyukai menggunakan ikan tersebut. Selain itu, ikan air tawar seperti ikan mujair juga dapat kita pakai sebagai lauk untuk menemani dalam menyantap papeda. Bumbu-bumbu dalam memasak ikan juga tidak kalah penting dalam menentukan rasa saat menyantap Papeda.








Dibuat untuk memenuhi nilai UAS Digital Media

Friday, December 29, 2017

Tari Tradisional Kalimantan, Tari Baksa Kembang





Hey guys, kalian pernah denger nggak sih Tari Baksa Kembang? Jujur sih kalo saya pribadi pernah dengar nama tari ini sekali, ketika saya SD dulu. Sekarang saya akan cari tahu dan menjabarkan tentang Tari Baksa Kembang.

Tari ini merupakan tarian klasik yang dulunya muncul dan berkembang di keraton Banjar pada masa keratonan Banjar. Konon katanya sekitar abad 15 sebelum masehi, seorang pangeran yang bernama Suria Wangsa Gangga di kerajaan Dipa dan juga Daha di pulau Kalimantan mempunyai seorang kekasih yang bernama putri Kuripan. Satu peristiwa di waktu yang lain adalah pada saat putri Kuripan memberikan setangkai bunga teratai merah kepada si pangeran. Peristiwa itu merupakan cikal bakal dari lahirnya tarian Baksa Kembang di Banjar provinsi Kalimantan Selatan. Beberapa pihak juga ada yang menyebutkan bahwa tarian Baksa Kembang ini awalnya di lakukan oleh para Putri dari Keraton yang dipertunjukkan dengan tujuan untuk menghibur keluarga Keraton dan untuk menyambut kedatangan para tamu agung dari negeri tetangga dengan mengalungkan bunga kepada para tamu agung tersebut. Menurut Yurliani Johansyah, yaitu pakar tari klasik Banjar. Tari Baksa Kembang telah ada sejak sebelum pemerintahan Sultan Suriansyah, yaitu raja pertama Kerajaan Banjar. Tarian ini diciptakan satu masa dengan tari Baksa lainnya, seperti Baksa Dadap, Baksa Lilin, Baksa Panah dan juga Baksa Tameng di zaman Hindu sebelum Islam datang. Seiring berjalannya waktu, tarian inipun mulai menyebar ke seluruh pelosok Keraton Banjar dan panarinya adalah para Galuh dari Keraton Banjar.

Di era sekarang, fungsi dari tarian ini tak jauh berbeda yaitu untuk menyambut para tamu nasional atau kenegaraan yang berkunjung. Ada pula yang mempertunjukkan tarian ini pada saat pesta keluarga, seperti pernikahan, khitanan dan lain sebagainya. 

Aksesoris yang sering digunakan dalam tarian ini atara lain 
rangkaian dari berbagai jenis bunga yang  diantaranya adalah bunga mawar, bunga kantil, bunga melati, dan bunga kenanga untuk dipakai di tangan mereka yang mereka sebut dengan kembang Bogam. Kembang Bogam ini nantinya akan dikalungkan dan dihadiahkan kepada para tamu kehormatan yang hadir saat itu.





Dibuat untuk memenuhi nilai UAS Digital Media

Wednesday, December 27, 2017

Alunan Manis Sasando



Kawan, kalian pasti tau atau pernah dengar dong alat musik sasando? Alat musik yang berasal dari Pulau Rote Nusa Tenggara Timur ini dimainkan dengan cara dipetik. Ada beberapa legenda yang menceritakan bagaimana terbentuknya atau terciptanya alat musik ini Namun kali ini saya akan menceritakan 2 versi cerita saja.

(Versi 1), Menurut cerita masyarakat Pulau Rote sejarah alat musik ini diawali oleh seorang pemuda bernama Sangguana. Suatu hari ia pergi menuju padang sabana, karena kelelahan kemudian ia berhenti untuk beristirahat sejenak di bawah pohon lontar. Secara tidak sengaja ia pun tertidur dan bermimpi sedang memainkan sebuah alat musik dari pohon lontar. Dari mimpinya tersebut ia kemudian terinspirasi untuk menciptakan alat musik yang kemudian dikenal dengan nama Sasando.

(Versi 2), Sasando ditemukan oleh dua orang penggembala bernama Lumbilang dan Balialang (diceritakan oleh Jeremias Pah). Ketika meladang bersama domba-domba, mereka membawa sehelai daun lontar, saat kehausan di siang hari mereka melipat daun lontar tersebut untuk menimba air. Untuk melipat, bagian tengah daun berwarna kuning muda harus di buang dan ketika hendak melepas, tali tersebut dikencangkannya. Tanpa disangka, ketika ditarik keras menimbulkan bunyi nada yang berbeda-beda. Tetapi, karena sering terputus keduanya lantas mencungkili lidi-lidi tersebut. Akhirnya, mereka menemukan bahwa apabila dikaitkan rapat akan membunyikan nada tinggi dan sebaliknya semakin merenggang, dawai akan menghasilkan nada yang rendah (Sasando Rote, 17 Januari 2008).

Cara memainkan alat musik sasando hamper mirip dengan kecapi. Tangan kiri berfungsi untuk memetik melodi dan bas, sedangkan tangan kanan digunakan untuk memainkan akor (gabungan beberapa nada tunggal). Perpaduan melodi, bas dan akor yang dapat dimainkan secara bergantian ataupun bersamaan menjadi salah satu ciri khas dari bunyi yang dihasilkan oleh Sasando. Karena Sasando dimainkan dengan menirukan cara kerja laba-laba (dipetik), maka berdasarkan kepercayaan (mitos) di Rote bila seseorang ingin pandai bermain/memetik Sasando maka ia harus menangkap seekor laba-laba lalu menghancurkannya sesudahnya dicampur dengan minyak kelapa lalu diolah/diremas-remas pada jari-jemari. Oleh karena alat musik yang telah dipasang dalam haik itu beresonansi, maka disebut/dinamakan Sandu atau Sanu yang berarti bergetar atau meronta-ronta. Kemudian alat ini disebut lagi Sasandu, adalah kata ulang dari Sandu-sandu atau Sanu-sanu yang berarti bergetar berulang-ulang.

Sasando, dalam bidang organologi (ilmu tentang alat-alat musik) tergolong Sitar Tabung Bambu. Menurut para peneliti musik, sitar tabung bamboo adalah alat musik asli Asia Tenggara (misalnya Filipina dan Indonesia) yang juga ditemukan di  Madagaskar dengan sebutan Valiha/Ali yang berasal-usul dari Asia Tenggara melalui perpindahan penduduk ( Stanley Sadiebed. The New Grove Dictyonary of Musical Instruments). Ada beberapa jenis-jenis Sasando
  1. Sasando gong, Sasando gong lebih dikenal di Pulau Rote, memiliki nada pentatonik, biasanya dimainkan dengan irama gong dan dinyanyikan dengan syair khas Pulau Rote. Sasando jenis ini berdawai 7 buah atau 7 nada kemudian kini berkembang menjadi 11 dawai.
  2. Sasando biola, Sasando jenis biola merupakan sasando yang telah berkembang dengan nada diatonis. Bentuk sasando biola sekilas mirip sasando gong namun diameter bambunya lebih besar. Sasando jenis ini diperkirakan mulai berkembang pada abad ke-18. Disebut sasando biola karena menyerupai nada biola dengan 30 nada kemudian berkembang menjadi 32 dan 36 dawai.
  3. Sasando Elektrik, Sasando elektrik umumnya memiliki 30 dawai dan merupakan pengembangan dari sasando biola yang diberi sentuhan teknologi. Sasando jenis ini diciptakan oleh Arnoldus Eden yang telah almarhum, ia merupakan seorang musisi sasando dan telah mendapat piagam penghargaan oleh Gubernur NTT tahun 2008.
Sasando kerap digunakan sebagai musik pengiring atau penghibur pada upacara adat maupun sebagai hobi pribadi. Mungkin masih banyak penduduk Indonesia yang kurang mengenal alat musik yang satu ini. Namun ternyata alat musik sasando ini sangat digemari oleh kalangan penikmat musik tradisional yang berasala dari Australian dan beberapa negara Eropa. Maka dari itu kita patut berbangga diri karena keragamanan budaya Indonesia dan sudah sepantasnya kita sendiri yang melestarikan budaya bangsa agar tidak punah seiring berjalannya waktu.








Disusun untuk memenuhi nilai UAS Digital Media

Tuesday, December 19, 2017

Bandng Memiliki Banyak Budaya

Bandung

Angklung
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.

Barongsai
Seni ini merupakan gabungan seni tradisional Cina yakni guntaw dan penca pada seni tradisional Sunda. Dalam perkembangannya seni ini lebih dikenal sebagai seni barongsai, terdiri atas materi seni pencak silat Sunda dan seni bela diri Cina serta diselaraskan dengan seni barong yang saat itu (hingga sekitar tahun 1942) popular di daerah yang kerap dipergelarkan pada acara selamatan kariaan (khitanan).








Benjang
Benjang adalah jenis kesenian tradisional Tatar Sunda, yang hidup dan berkembang di sekitar Kecamatan Ujungberung, Kabupaten Bandung hingga kini. Dalam pertunjukannya, selain mempertontonkan ibingan (tarian) yang mirip dengan gerak pencak silat, juga dipertunjukkan gerak-gerak perkelahian yang mirip gulat.

Calung
Pada awalnya seni calung bukanlah pertunjukan yang kerap tersaksikan sekarang ini, melainkan sebentuk perangkat waditra yang terbuat dari ruas bambu yang dipasang pada sisi kiri dan sisi kanan. Ujung yang satu diikat pada sebuah tiang, sedangkan ujung lainnya diikat pada tubuh si penabuh calung.

Celempungan
Seni ini terdiri atas kecapi salendro, rebab, kendang, serta goong. Instrumen ini dibutuhkan untuk mengiringi seorang juru kawih; kadang-kadang dalam pertunjukannya cukup hanya sebuah pertunjukan instrumentalia saja. Lagu-lagunya bisa lagu klasik salendro seumpama bayu-bayu, kulu-kulu bem, sanga, banjaran, gendu, bisa pula lagu-lagu hasil reka cipta baru.

Inilah Budaya Jogja


25NOV
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah Istimewa setingkat provinsi di Indonesia yang merupakan peleburan bekas (Negara) Kesultanan Yogyakarta dan [Negara] Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian tengah dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km2 ini terdiri atas satu kota dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2[5].
Penyebutan nomenklatur Daerah Istimewa Yogyakarta yang terlalu panjang menyebabkan sering terjadinya penyingkatan nomenkaltur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah Istimewa ini sering diidentikkan dengan Kota Yogyakarta sehingga secara kurang tepat disebut dengan Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta. Walaupun memiliki luas terkecil ke dua setelah Provinsi DKI JakartaDaerah Istimewa ini terkenal di tingkat nasional dan internasional. Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tempat tujuan wisata andalan setelah Provinsi Bali. Selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi daerah terparah akibat bencana gempa pada tanggal 27 Mei 2006 dan erupsi Gunung Merapi pada medio Oktober-November 2010.

Pariwisata

Museum Hamengku Buwono IX di dalam kompleks Keraton Yogyakarta, sebuah tujuan wisata
Pariwisata merupakan sektor utama bagi DIY. Banyaknya objek dan daya tarik wisata di DIY telah menyerap kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Bentuk wisata di DIY meliputi wisata MICE (MeetingIncentiveConvention and Exhibition), wisata budaya, wisata alam, wisata minat khusus dan berbagai fasilitas wisata lainnya, seperti resort, hotel, dan restoran. Keanekaragaman upacara keagamaan dan budaya dari berbagai agama serta didukung oleh kreativitas seni dan keramahtamahan masyarakat, membuat DIY mampu menciptakan produk-produk budaya dan pariwisata yang menjanjikan.
Secara geografis, DIY juga diuntungkan oleh jarak antara lokasi objek wisata yang terjangkau dan mudah ditempuh. Sektor pariwisata sangat signifikan menjadi motor kegiatan perekonomian DIY yang secara umum bertumpu pada tiga sektor andalan yaitu: jasa-jasa; perdagangan, hotel dan restoran; serta pertanian. Dalam hal ini pariwisata memberi efek pengganda (multiplier effect) yang nyata bagi sektor perdagangan disebabkan meningkatnya kunjungan wisatawan. Selain itu, penyerapan tenaga kerja dan sumbangan terhadap perekonomian daerah sangat signifikan.

Kebudayaan

Wujud cagar budaya yang masih dipergunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu Indonesia
DIY mempunyai beragam potensi budaya, baik budaya yang tangible (fisik) maupun yang intangible (non fisik). Potensi budaya yang tangible antara lain kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya sedangkan potensi budaya yang intangible seperti gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat.
DIY memiliki tidak kurang dari 515 Bangunan Cagar Budaya yang tersebar di 13 Kawasan Cagar Budaya. Keberadaan aset-aset budaya peninggalan peradaban tinggi masa lampau tersebut, dengan Kraton sebagai institusi warisan adiluhung yang masih terlestari keberadaannya, merupakan embrio dan memberi spirit bagi tumbuhnya dinamika masyarakat dalam berkehidupan kebudayaan terutama dalam berseni budaya dan beradat tradisi. Selain itu, Provinsi DIY juga mempunyai 30 museum, yang dua di antaranya yaitu Museum Ullen Sentalu dan Museum Sonobudoyo diproyeksikan menjadi museum internasional
Aspek Seni
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak sekali kesenian. Baik itu kesenian budaya seperti tari-tarian ataupun seni kerajinan seperti batik, perak, dan wayang.
Batik
Batik adalah salah satu kerajinan khas Indonesia terutama daerah Yogyakarta. Batik yogya terkenal karena keindahannya, baik corak maupun warnanya. Seni batik sudah ada diturunkan oleh nenek moyang, hingga saat ini banyak sekali tempat-tempat khusus yang menjual batik ini. Perajin batik banyak terdapat di daerah pasar ngasem dan sekitarnya.
Kata “batik” berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: “amba”, yang bermakna “menulis” dan “titik” yang bermakna “titik”.
Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknikteknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 oktober 2009.

Tari Piring Juga Dilupakan?

Selain rumah gadang dan rasa masakannya yang nikmat, Sumatera Barat juga dikenal sebagai provinsi dengan tingkat kebudayaan yang tinggi pada masa lampau. Berbagai peninggalan budaya terdapat di sana, salah satu yang unik misalnya tari piring. Tari piring merupakan tarian yang berasal dari adat khas suku Minangkabau yang sudah begitu terkenal di seantero dunia. Keunikan tersendiri yang membedakan tarian ini dengan jenis tarian lain di nusantara telah berhasil mengundang decak kagum. Bagi Anda yang mungkin ingin mengenal tarian adat yang atraktif satu ini lebih dalam, simaklah pemaparan penulis Blog Kisah Asal Usul mengenai asal usul, sejarah, gerakan, kostum, dan makna tari piring berikut ini. Tari Piring Asal Usul dan Sejarah Tari Piring Tari piring dipercaya telah ada sejak sekitar abad ke 12 Masehi, terlahir dari kebudayaan asli masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Tarian ini dulunya merupakan tarian persembahan bagi para dewa yang telah mengkaruniakan hasil panen yang berlimpah selama setahun. Perlu diketahui bahwa sebelum masuknya Islam, masyarakat Minangkabau mayoritas masih memeluk agama Hindu, Budha, dan sebagian Animisme. Masuknya Islam ke tanah Sumatera pada abad ke 14 secara tidak langsung ikut mempengaruhi perkembangan tari piring. Semenjak ajaran Islam mulai dianut oleh mayoritas masyarakat, peruntukan tari piring pun berubah. Tari piring bukan lagi ditujukan sebagai tari persembahan bagi para dewa, melainkan hanya sebagai tontonan bagi masyarakat. Tarian ini dipertunjukan setiap kali ada acara hajatan sebagai hiburan semata. Dalam perjalanan sejarahnya, tari piring kontemporer mengalami banyak pembaruan, mulai dari musik yang mengiringinya, gerakan, koreografi, hingga komposisi pemain. Adalah Huriman Adam, seorang seniman tanah Minang yang telah berkontribusi besar pada kepopuleran tari ini di masa kini. Gerakan Tari Piring Berbagai gerakan dalam Tari Piring adalah perpaduan yang laras antara seni tari yang indah, gerakan akrobatis, dan gerakan bermakna magis. Gerakan tarian yang dibawakan secara berkelompok oleh 3-5 personil ini sangat beragam. Gerakan-gerakan tersebut secara keseluruhan sebetulnya menceritakan tentang tahapan-tahapan kegiatan dalam budidaya tanaman padi yang menjadi mata pencaharian masyarakat adat Minang tempo dulu. Sedikitnya ada 20 gerakan tari piring yang harus dibawakan para penari untuk dapat mempertunjukan tari piring yang sempurna. Keduapuluh gerakan tersebut antara lain: Gerak pasambahan; gerakan yang dibawakan oleh para penari pria ini adalah gerakan pembuka tari piring. Gerakan ini memiliki makna sebagai wujud syukur kepada Allah swt dan bentuk permohonan penari pada para penonton yang menyaksikan, supaya tidak merusak jalannya pertunjukan. Gerak singanjuo lalai; gerakan yang dibawakan oleh para penari wanita ini sangat lemah lembut melambangkan suasana pagi yang sejuk. Gerak mencangkul; gerakan tari piring yang menceritakan sekumpulan petani yang tengah mengolah tanah sawahnya. Gerak menyiang; gerakan ini menceritakan aktivitas para petani saat tengah menyiangi atau membersihkan rerumputan di sawah mereka. Gerak membuang sampah; gerakan ini menceritakan kegiatan para petani yang tengah membuang sisa-sisa sampah hasil menyiangi yang ia lakukan sebelumnya. Gerak menyemai; gerakan ini menceritakan para petani yang tengah menyemai benih padi yang akan ditanam. Selain keenam gerakan tersebut, ada 14 gerakan lain yang harus dilakukan oleh para penari. Gerakan-gerakan tersebut antara lain gerak memagar, gerak mencabut benih,  gerak bertanam, gerak melepas lelah, gerak mengantar juadah, gerak menyabit padi, gerak mengambil padi, gerak manggampo padi, gerak menganginkan padi, gerak mengirik padi, gerak menumbuk padi, gotong royong, gerak menampih padi, dan gerak menginjak pecahan kaca. Keseluruh gerakan tersebut dapat dilihat pada video berikut ini. Iringan Musik Tari Piring Keduapuluh gerakan tari piring di atas dilakukan dengan tempo cepat dengan diiringi iringan musik berirama  syahdu yang menggambarkan rasa kebersamaan, kegembiraan, dan semangat. Iringan musik dalam tari piring sendiri berasal dari 2 alat musik, yaitu talempong dan saluang. Talempong adalah alat musik pukul yang terbuat dari kayu, kuningan, atau batu. Bentuknya mirip seperti bonang, sedangkan saluang adalah alat musik tiup yang terbuat dari bambu tipis mirip seperti suling. Selain dengan iringan kedua alat musik tersebut, tari piring juga diiringi dengan suara gemerincing cincin yang dikenakan para penarinya.
Kostum Penari Piring Ketika menari, para penari wajib mengenakan kostum khusus. Kostum tari piring untuk pria dan wanita ini dijelaskan seperti pada tabel berikut. Kostum Penari Pria Kostum Penari Wanita Busana rang Mudo, berupa baju berlengan lebar yang dihiasi dengan renda emas. Saran galembong, celana berukuran besar di bagian tengahnya khusus untuk tari piring. Sisamping, kain songket yang dililitkan di pinggang hingga lutut. Cawek pinggang, ikat pinggang yang terbuat dari kain songket. Deta atau destar, yaitu penutup kepala berbentuk segitiga yang dibuat dari kain songket khas pria Minangkabau. Baju kurung yang terbuat dari kain beludru dan kain satin. Kain songket. Selandang songket yang dipasang di badan bagian kiri. Tikuluak tanduak balapak yaitu penutup kepala khas wanita Minangkabau yang terbuat dari bahan songket dengan bentuk menyerupai tanduk kerbau. Aksesoris lain berupa anting, kalung gadang, dan kalung rambai.

Tuesday, December 12, 2017

Tanjidor. Jangan Sampai Punah



Tanjidor adalah sebuah kesenian Betawi yang berbentuk orkes. Kesenian ini sudah dimulai sejak abad ke-19 atas rintisan Augustijn Michiels atau lebih dikenal dengan nama Mayor Jantje di daerah Citeureup. Alat-alat musik yang digunakan biasanya sama seperti drumben. Kesenian Tanjidor selain berada di Jakarta (Betawi), juga terdapat di Kalimantan Barat, sementara di Kalimantan Selatan kesenian ini sudah punah.

Perpaduan India dan Sumatera, Mie Aceh



Haloo guys, siapa sih yang nggak kenal Aceh? Aceh, yang dahulu pada tahun 2004 sempat diterjang bencana Tsunami memang memiliki budaya yang unik terutama pada kulinernya. Salah satu kuliner unik yang berasal dari provinsi yang dijuluki 'Serambi Mekah' ini adalah Mie Aceh.

Budaya Bali yang Pernah dicuri

Mengenai Reog Ponorogo, pada akhir tahun 2007, terjadi kegemparan saat sebuah tarian dengan tampilan mirip Reog yang diberi nama Barongan muncul di website milik Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia. Tarian Barongan tersebut diklaim sebagai warisan Melayu yang dilestarikan di Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia.
Bisa diduga, setelah ada klaim dari Malaysia itu, muncul berbagai keberatan, dan lalu hak cipta di tingkat dunia atas Reog Ponorogo segera diurus oleh pihak Indonesia.
Tapi hak cipta ini memang bukan satu- satunya yang perlu diurus. Yang lebih penting lagi, seperti yang dikatakan oleh mas Baskoro, apakah kita memberikan apresiasi Reog Ponorogo itu seperti selayaknya, atau jangan- jangan kita sendiri sebenarnya tak perduli?
Bukan hanya terjadi pada Reog Ponorogo, tapi Tari Pendet yang terkenal itu juga diklaim oleh Malaysia di sekitar tahun 2009 yang lalu.
Tari Pendet merupakan tari selamat datang yang biasa disuguhkan masyarakat Bali kepada para tamu penting yang datang ke Pulau Dewata.
Saat itu ada iklan "Visit Malaysia Year" dimana Tari Pendet yang dibawakan wanita berbusana adat Bali ditayangkan berkali-kali dalam iklan yang disiarkan di beberapa stasiun televisi di dalam dan luar negeri.
Tentu saja gelombang kemarahan di Indonesia muncul menyambutnya.
Ketika itu di blog miliknya, Fary menulis tentang hal tersebut, dan inilah kutipannya...
***
Banyak warga Indonesia yang kebakaran jenggot (walau aslinya mungkin tak punya jenggot) ketika mendengar kabar soal tari Pendet yang diklaim negara tetangga Malaysia. Kegusaran itu bisa dipahami, kendati di sisi lain aku pikir Indonesia justru harus bersyukur!!
Lho, kenapa bersyukur?
Kenapa kita harus bersyukur jika kekayaan budaya dirampok negara lain dengan semena-mena?
Indonesia harus bersyukur, karena klaim Malaysia tentang sesuatu yang jelas-jelas merupakan milik Indonesia, sebenarnya merupakan pengakuan terselubung dari negeri jiran itu. Pengakuan bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang fantastis. Pengakuan bahwa Malaysia sebenarnya sangat miskin dengan budaya, dan saking miskinnya maka milik orang lain pun diakui.
Logikanya begini. Jika ada milik kita yag ditaksir orang lain, atau bahkan dicuri atau digelapkan, berarti milik kita itu sangat berharga bukan?
Dalam konteks tari Pendet, jika tarian itu diklaim sebagai milik, bukankah itu berarti merupakan pengakuan bahwa tari Pendet itu sangat bernilai harganya?
‘Perseteruan’ soal kekayaan budaya dengan Malaysia sebenarnya bisa dipahami, karena akar kita dengan mereka sama (atau paling tidak, kita berasal dari rumpun yang sama). Jadi jika mereka mengklaim sesuatu yang secara budaya dekat, itu sangat bisa dipahami.
Yang jadi masalah jika pemerintah dan rakyat Indonesia baru berkoar-koar SETELAH Malaysia mengklaim. Sejauh ini, jujur saja, aku tidak melihat kepedulian pemerintah pada eksistensi tari Pendet. Dan harus juga diakui, kepedulian rakyat (termasuk blogger) juga sebenarnya nol untuk tari Pendet. Mungkin karena menganggap bahwa tari Pendet itu urusannya rakyat Bali.
Dan setelah diklaim, barulah kita, baik yang punya jenggot maupun tidak, meradang!!
Kasus tari Pendet ini seharusnya menjadi pelajaran buat kita semua, untuk peduli pada kesenian dan budaya daerah. Jangan sampai kepedulian itu muncul sebagai reaksi, hanya setelah diusik Malaysia.
Dengan kata lain, jika Malaysia tak bertindak lancang, belum tentu masyarakat dan pemerintah tergerak hatinya untuk, paling tidak, mengupayakan hak cipta bagi sejumlah produk budaya Indonesia.
Jadi, dalam konteks ini, bisa dimengerti kan kenapa aku bilang kita harus bersyukur?

Media harus sering Membicarakan Budaya

Indonesia merupakan Negara yang banyak melahirkan seni dan budaya. Pada setiap daerah di Indonesia pasti memiliki beberapa seni dan budaya yang menjadi ciri khas dari daerah tersebut. 

Seperti yang kita ketahui, seni merupakan bentuk keindahan yang dapat menimbulkan gairah kepada setiap penikmatnya. Serta budaya yang juga sudah tentu memiliki keindahan ditambah terdapat nilai yang penting dalam alasan pembuatannya. 

Berbicara mengenai seni dan budaya pasti sangat diperlukan pihak di belakang terciptanya seni budaya tersebut, yang tak lain adalah para seniman dan budayawan yang melestarikan setiap kesenian dan kebudayaan yang ada. 

Sebelum melestarikan sebuah seni dan budaya agar tidak terlupakan oleh generasi selanjutnya, perlu adanya pengenalan sebuah seni dan budaya itu sendiri kepada masyarakat agar sebuah seni dan budaya yang tercipta dapat diketahui oleh banyak orang. Jika menciptakan dan melestarikan menjadi tugas seniman dan budayawan, lalu siapa yang bertugas menjadi penyebar seni dan budaya yang tercipta agar dapat diketahui oleh masyarakat yang lebih luas? 

Media, ya media menjadi salah satu yang berperan serta memiliki tugas penting untuk membantu memperkenalkan dan menyebarkan adanya suatu seni dan budaya yang tercipta. Selain itu media menjadi salah satu hal yang dapat berpengaruh besar terhadap pengetahuan dan pola pikir masyarakat. Salah satu tugas media yaitu mengedukasi pemirsanya. Lewat seni dan budaya yang ada, media dapat mengedukasi pemirsa bagaimana suatu seni tercipta dan makna apa dibalik terciptanya suatu budaya.

Di era yang semakin modern tentu kita tidak ingin budaya tertentu dapat dilupakan oleh masyarakat. Oleh karena itu media bertugas untuk memberitakan adanya suatu budaya, terlebih budaya yang ada yaitu budaya tradisional yang tak banyak masyarakat mengetahuinya. 

Kerja sama antara seniman, budayawan, dan media sangat diperlukan agar kesenian yang ada dapat dengan mudah diketahui oleh banyak orang dan budaya yang ada dapat terlestarikan dan tak mudah dilupakan. 

Bagaimana agar karya seni dan kebudayaan menjadi kebutuhan bagi masyarakat? Jawabnya adalah perlu peran besar dari media. Mengapa demikian? Karena media massa saat ini menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat, baik media elektronik, cetak maupun online.

Televisi misalnya, media yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia dapat menjadi salah satu media yang dapat menyiarkan sebuah kebudayaan yang ada. Saat ini telah ada program–program televisi yang menyisipkan kebudayaan sebagai salah satu hal penting yang dapat menunjang tema yang sedang diangkat sebagai topik pembahasan. 

Contohnya jika televisi membahas mengenai suatu daerah di Indonesia, dengan dibahasnya suatu daerah pastilah kebudayaan menjadi hal yang harus dibahas agar topik yang diangkat menjadi semakin lengkap. Seni jauh lebih luas dibahas dibanding budaya, karena kesenian meliputi banyak hal. Film, musik, drama, lukisan dan lain sebagainya bisa dikatakan sebagai suatu karya seni karena adanya nilai keindahan yang terkandung di dalamya. 

Berbicara mengenai seni, pastilah berbagai jenis media dapat dengan mudah menayangkan sebuah seni karena itu merupakan sebuah karya juga di sisi lain seni dapat menjadi hiburan bagi penikmatnya.

Sebagai penyebar informasi seni dan kebudayaan, media massa harus mengemas sedemikian rupa kesenian dan kebudayaan yang diangkat agar menarik saat disajikan kepada pemirsa. Hal tersebut menjadi nilai tambah agar masyarakat tidak merasa bosan ketika menyaksikan dan mendengar program serta membaca mengenai informasi seni dan kebudayaan. Jika sudah demikian maka akan semakin mudah membuat masyarakat untuk mengetahui dan menerima seni dan budaya sebagai suatu kebutuhan hidup. 

Semoga semakin banyak media massa yang mengangkat dan membahas mengenai seni dan budaya dapat lebih memiliki pengaruh besar dalam melestarikan sebuah seni dan budaya. Serta dengan ikut turun tangannya media massa dalam menginformasikan serta menyebarkan seni dan budaya di Indonesia, maka semakin banyak seni dan budaya yang ada dapat diketahui serta mudah diterima oleh Masyarakat. Sehingga akhirnya seni yang tercipta dan budaya yang ada tak mudah dilupakan serta tetap lestari dan abadi dari generasi ke generasi.

Tuesday, December 5, 2017

Soto Tangkar, Eksis dari Zaman Penjajahan Hingga Sekarang






           Soto Tangkar adalah sebuah soto berkuah santan yang berisi daging, kikil, lemak, dan jeroan sapi. Mirip seperti soto betawi, namun memiliki kuah bersantan yang tidak sekental soto betawi. Kuliner yang satu ini berasal dari daerah betawi. Nama tangkar sendiri sebenarnya adalah sebutan dalam bahasa Betawi untuk iga sapi pada zaman penjajahan Belanda dulu.


            Di kawasan Pasar Pagi Asemka, ada sebuah warung soto yang menyajikan menu utama soto tangkar. Warung soto ini selalu ramai pelanggan, apalagi ketika hari sabtu dan minggu atau hari libur berlangsung. Pak H. Nusadin adalah pemilik warung soto ini sekarang. Beliau sebagai generasi ke empat yang meneruskan usaha warung soto ini yang sudah berlangsung turun temurun dari almarhum kakek buyutnya, yaitu pak H. Diding. Keluarga bapak H. Diding ini berasal dari daerah Bogor dan mereka bermigrasi ke Jakarta untuk membuka usaha warung soto. Sebelumnya, warung soto ini memiliki tiga cabang, tetapi tidak ramai, akhirnya cabang-cabang itu ditutup dan hanya berjualan di kawasan Pasar Pagi, Asemka. Soto yang berisikan daging sapi, kikil, jeroan dan sate sapi disiram dengan kuah santan berbumbu yang khas dan disajikan dengan nasi hangat yang ditaburi bawang goreng. Disini ada pula acar yang sengaja disediakan di meja dan juga emping untuk disantap bersama nasi dan soto untuk menambah cita rasa unik. Selain soto tangkar, warung soto ini juga menyediakan menu lain seperti soto ayam, sate daging sapi, dan soto sate atau biasa disebut sate kuah, yaitu soto yang berisikan sate daging sapi.



           Resep-resep soto yang ada disini merupakan resep turun temurun yang dijaga keaslian rasanya agar tidak berubah. Di warung soto ini seporsi soto yang sudah beserta nasi dijual seharga Rp 20000 (dua puluh ribu rupiah) saja. Selain harganya terjangkau, para pelanggan juga merasa puas karena pelayanannya yang cepat, baik makanan atau pun minuman meskipun minuman di jual di warung terpisah. Warung soto ini buka dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore.


            Lokasi warung soto ini berada di sudut jalan, diantara penjual makanan lainnya, seperti gado-gado, mie ayam, dan lain-lain. Meskipun tempatnya tidak semewah restaurant atau cafe, dan untuk parkir kendaraan disini sangatlah sulit karena tidak ada parkiran yang disediakan, apalagi jika pelanggan membawa kendaraan roda empat, kecuali untuk yang membawa kendaraan roda dua, dapat parkir di depan tenda warung soto tersebut, tetapi setiap hari warung soto ini selalu ramai pengunjung. Saking ramainya kalau makan disini, pengunjung harus ekstra sabar dan rela mengantri karena bangku dan meja disini selalu penuh, dan jangan harap bisa bersantai lama-lama disebabkan saking banyaknya antrian pengunjung yang ingin menikmati soto ini. Lokasi persis warung soto ini berada di dalam area Pasar Pagi Lama, Asemka. Jika tidak membawa kendaraan, untuk mencapai lokasi ini bisa menggunakan moda transportasi TransJakarta Busway yang bertujuan atau melewati halte Kota sperti koridor 1 atau koridor 12. Dari halte Kota, jalan melalui lorong penyebrangan setelah itu ambil arah kiri, lalu jalan terus menyusuri pasar Asemka, atau bisa menyebrang terlebih dahulu lalu berjalan kaki sampai ke area Pasar Lama, posisi tepatnya setelah perempatan pertama masih jalan terus sampai pertigaan dan lokasinya ada di sebelah kiri sudut jalan, dengan tenda hijau yang bertuliskan “SOTO TANGKAR ANEKA SARI H. DIDING”.

                                                         


            Warung soto ini dilayani oleh enam sampai tujuh orang pelayan yang semuanya masih satu keluarga dengan pak H. Nusadin, terkadang mereka masih sering keteteran karena saking banyaknya pelanggan yang ingin menikmati kelezatan soto disini. Pak H. Nusadin melayani pelanggannya hanya dari pagi sampai dzuhur. Ketika waktu sudah memasuki dzuhur, beliau pulang ke rumah untuksembahyang, beristirahat sebentar dan terkadang juga mengambil nasi untuk menambah stok nasi di warung sotonya. Selama pak H. Nusadin beristirahat di rumah, posisi beliau digantikan oleh anak pertama beliau, bernama Murdi yang akrab dipanggil Aa’.



Meski sesungguhnya makanan ini berasal asli dari daerah Jakarta, dan populer pada era betawi tempo dulu pada zaman penjajahan belanda, namun pak H. Diding dan keluarga mampu beradaptasi dan membuat masakan yang bukan dari daerah asal kelahirannya. Beliau bangga karena dapat mempertahankan salah satu warisan kuliner nusantara dan disukai oleh banyak kalangan masyarakat.

Kenyal-Kenyal Enak, Papeda!

Yao guys. Kali ini saya mau berbagi sedikit cerita mengenai salah satu makanan atau kuliner khas nusantara di Indonesia. Namun ...