Tuesday, December 5, 2017

Soto Tangkar, Eksis dari Zaman Penjajahan Hingga Sekarang






           Soto Tangkar adalah sebuah soto berkuah santan yang berisi daging, kikil, lemak, dan jeroan sapi. Mirip seperti soto betawi, namun memiliki kuah bersantan yang tidak sekental soto betawi. Kuliner yang satu ini berasal dari daerah betawi. Nama tangkar sendiri sebenarnya adalah sebutan dalam bahasa Betawi untuk iga sapi pada zaman penjajahan Belanda dulu.


            Di kawasan Pasar Pagi Asemka, ada sebuah warung soto yang menyajikan menu utama soto tangkar. Warung soto ini selalu ramai pelanggan, apalagi ketika hari sabtu dan minggu atau hari libur berlangsung. Pak H. Nusadin adalah pemilik warung soto ini sekarang. Beliau sebagai generasi ke empat yang meneruskan usaha warung soto ini yang sudah berlangsung turun temurun dari almarhum kakek buyutnya, yaitu pak H. Diding. Keluarga bapak H. Diding ini berasal dari daerah Bogor dan mereka bermigrasi ke Jakarta untuk membuka usaha warung soto. Sebelumnya, warung soto ini memiliki tiga cabang, tetapi tidak ramai, akhirnya cabang-cabang itu ditutup dan hanya berjualan di kawasan Pasar Pagi, Asemka. Soto yang berisikan daging sapi, kikil, jeroan dan sate sapi disiram dengan kuah santan berbumbu yang khas dan disajikan dengan nasi hangat yang ditaburi bawang goreng. Disini ada pula acar yang sengaja disediakan di meja dan juga emping untuk disantap bersama nasi dan soto untuk menambah cita rasa unik. Selain soto tangkar, warung soto ini juga menyediakan menu lain seperti soto ayam, sate daging sapi, dan soto sate atau biasa disebut sate kuah, yaitu soto yang berisikan sate daging sapi.



           Resep-resep soto yang ada disini merupakan resep turun temurun yang dijaga keaslian rasanya agar tidak berubah. Di warung soto ini seporsi soto yang sudah beserta nasi dijual seharga Rp 20000 (dua puluh ribu rupiah) saja. Selain harganya terjangkau, para pelanggan juga merasa puas karena pelayanannya yang cepat, baik makanan atau pun minuman meskipun minuman di jual di warung terpisah. Warung soto ini buka dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore.


            Lokasi warung soto ini berada di sudut jalan, diantara penjual makanan lainnya, seperti gado-gado, mie ayam, dan lain-lain. Meskipun tempatnya tidak semewah restaurant atau cafe, dan untuk parkir kendaraan disini sangatlah sulit karena tidak ada parkiran yang disediakan, apalagi jika pelanggan membawa kendaraan roda empat, kecuali untuk yang membawa kendaraan roda dua, dapat parkir di depan tenda warung soto tersebut, tetapi setiap hari warung soto ini selalu ramai pengunjung. Saking ramainya kalau makan disini, pengunjung harus ekstra sabar dan rela mengantri karena bangku dan meja disini selalu penuh, dan jangan harap bisa bersantai lama-lama disebabkan saking banyaknya antrian pengunjung yang ingin menikmati soto ini. Lokasi persis warung soto ini berada di dalam area Pasar Pagi Lama, Asemka. Jika tidak membawa kendaraan, untuk mencapai lokasi ini bisa menggunakan moda transportasi TransJakarta Busway yang bertujuan atau melewati halte Kota sperti koridor 1 atau koridor 12. Dari halte Kota, jalan melalui lorong penyebrangan setelah itu ambil arah kiri, lalu jalan terus menyusuri pasar Asemka, atau bisa menyebrang terlebih dahulu lalu berjalan kaki sampai ke area Pasar Lama, posisi tepatnya setelah perempatan pertama masih jalan terus sampai pertigaan dan lokasinya ada di sebelah kiri sudut jalan, dengan tenda hijau yang bertuliskan “SOTO TANGKAR ANEKA SARI H. DIDING”.

                                                         


            Warung soto ini dilayani oleh enam sampai tujuh orang pelayan yang semuanya masih satu keluarga dengan pak H. Nusadin, terkadang mereka masih sering keteteran karena saking banyaknya pelanggan yang ingin menikmati kelezatan soto disini. Pak H. Nusadin melayani pelanggannya hanya dari pagi sampai dzuhur. Ketika waktu sudah memasuki dzuhur, beliau pulang ke rumah untuksembahyang, beristirahat sebentar dan terkadang juga mengambil nasi untuk menambah stok nasi di warung sotonya. Selama pak H. Nusadin beristirahat di rumah, posisi beliau digantikan oleh anak pertama beliau, bernama Murdi yang akrab dipanggil Aa’.



Meski sesungguhnya makanan ini berasal asli dari daerah Jakarta, dan populer pada era betawi tempo dulu pada zaman penjajahan belanda, namun pak H. Diding dan keluarga mampu beradaptasi dan membuat masakan yang bukan dari daerah asal kelahirannya. Beliau bangga karena dapat mempertahankan salah satu warisan kuliner nusantara dan disukai oleh banyak kalangan masyarakat.

No comments:

Post a Comment

Kenyal-Kenyal Enak, Papeda!

Yao guys. Kali ini saya mau berbagi sedikit cerita mengenai salah satu makanan atau kuliner khas nusantara di Indonesia. Namun ...